UJI LABORATORIUM DAN UJI LAPANGAN DALAM RANGKA
PENGADAAN PAKAN TERNAK
Mengupayakan suatu usaha peternakan perlu
ditunjang oleh tiga faktor utama yaitu : pemuliabiakan ternak
(Breeding), sistim
pemberian makanan (Feeding) dan sistim
tata-laksana (Management). Pertumbuhan badan hewan ternak akan sangat
tergantung pada
pakan dan proses pemberian makanannya.
Contohnya adalah bahan baku apa saja yang digunakan serta kesesuaian
dengan proporsi
kebutuhan nutrisi ternaknya sendiri.
BPPT sejak awal telah mengadakan sejumlah
percobaan laboratorium sebelum diterapkan di lapangan, yaitu
diantaranya percobaan
dalam pemanfaatan berbagai hijauan
lamtoro/petai cina yang diketahui memiliki kandungan protein tumbuhan
dan berakar dalam.
Masalahnya, lamtoro memiliki kandungan zat
racun yaitu perontok bulu (mimosine) Oleh karena itu, pemberiannya
kepada ternak
harus diusahakan sesuai dengan proporsi
kebutuhan, serta diberikan sebagai campuran bahan makanan ternak.
Persiapan di lapangan dilakukan dengan menanam sejumlah varietas hijauan lamtoro/ petai cina di daerah lahan kritis di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
PENELITIAN KOMPOSISI PAKAN TERNAK
BPPT telah melakukan sejumlah kegiatan
dalam perbaikan mutu pakan ternak. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan produktivitas
ternak yang diusahakan para petani. Sebagai
contoh, dalam rangka perbaikan pertumbuhan ternak penghasil daging
segar, BPPT
telah melakukan kerjasama dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ternak di Ciawi - Bogor. Dengan maksud agar
peterapan nantinya
dapat sesuai dengan minat masyarakat setempat
yang memerlukan.
Penelitian laboratorium dilakukan dengan
menggunakan ternak sapi Peranakan Ongole (PO). Sebagai bahan makanannya
diperkenalkan
pemanfaatan hijauan lamtoro/ petai cina
sebagai bahan makanan tambahan berkadar protein tumbuhan. Bahan pakan
ini dikombinasikan
dengan rumput lapangan sebagai bahan makanan
pokoknya. Hijauan lamtoro digunakan sebagai makanan tambahan, mengingat
adanya
kandungan zat racun yang dapat merontokkan
bulu. Makanan tambahan tersebut diupayakan pemberiannya dalam bentuk
kering matahari.
Dalam penelitian ini, perlakuan pemberian
kadar hijauan lamtoro/petai cina adalah sebesar: 0%; 20%; 40%; 60% dan
100%.
Perlakuan di laboratorium pada ternak sapi
Peranakan Ongole (PO) diamati selama enam bulan, dengan masing-masing 6
ulangan
tiap perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan,
dengan pemberian kadar hijauan lamtoro/ petai cina yang melalui
perlakuan kering
matahari yang dikombinasikan dengan rumput
lapangan segar tersebut disimpulkan tidak ada efek samping, serta berat
badan diperoleh
sebesar masing-masing 0,015; 0,292; 0,544;
0,587 dan 0,306 kg/ek/hr.
Sebagai pembanding, pemberian makanan
kombinasi ini telah pula diberikan pada ternak kelinci dan ternak
kambing pertumbuhan.
Pada saat perlakuan pada ternak kelinci,
digunakan hijauan lamtoro/petai cina jenis lokal yang sama seperti pada
percobaan
ternak
Gambar 1. Proporsi pemberian pakandalam uji coba pemanfaatan hijauan lamtoro
|
sapi
Peranakan Ongole (PO), tetapi diberikan dalam bentuk segar yang
diberikan dengan campuran kangkung. Tahapan perlakuannya
adalah: 100% kangkung; 20% hijauan lamtoro
+80% kangkung; 40% hijauan lamtoro + 60% kangkung dan 60% hijauan
lamtoro + 40%
kangkung. Sebagai tahap perlakuan awalnya,
makanan diberikan selama 2 (minggu) dan periode pengamatannya dilakukan
selama
12 minggu.
Hasilnya ternyata memperlihatkan
perbedaan yang sangat signifikan pada pertambahan berat badannya untuk
setiap perlakuan.
Di sini terlihat bahwa konsumsi bahan kering
untuk perlakuan 20% dan 40% hijauan lamtoro lebih tinggi daripada
perlakuan 60%
hijauan lamtoro dan tanpa hijauan lamtoro.
Pada perlakuan ini, berdasarkan bobot badan yang diperoleh, disarankan
pemakaian
tingkat hijauan lamtoro 40% bentuk segar
dapat dicampur dengan 40 % kangkung dalam pertumbuhan kelinci. Hasil
analisa kandungan
proteinnya adalah sekitar 26,9%. Pengamatan
telah dilakukan terhadap 24 ekor ternak kelinci di Fakultas Peternakan
IPB.
Perlakuan juga dicoba terhadap 20 ekor
kambing lokal tingkat pertumbuhan, menggunakan hijauan lamtoro jenis
giant (bukan
lokal), yang dilakukan selama 3 (tiga) bulan.
Pemberian ransumnya berbeda dengan yang dilakukan pada pemberian rumput
lapangan,
sedang perlakuannya adalah : 0%; 20%; 40% dan
60% hijauan lamtoro. Perlakuan pada 40% hijauan lamtoro dengan campuran
rumput
alam ternyata memiliki hasil tertinggi,
seperti terlihat dari pertambahan bobot badannya berikut ini: - 266
gram; 10 gram;
30 gram dan 29 gram per ekor per hari. Hasil
ini memperlihatkan bahwa antara 40 dan 80 % hijauan lamtoro dalam ransum
sangat
berbeda nyata dengan perlakuan 0 dan 80 %
hijauan lamtoro dalam ransum. yang dilaksanakan di laboratorium Univ.
Gajah Mada
- Yogyakarta. Hal ini disebabkan karena di
Yogyakarta digunakan hijauan lamtoro hasil perolehan penanaman di lahan
kritis
di Kabupaten. Sleman; DIY.
Kambing yang digunakan adalah jenis
ternak kambing lokal yang dalam tingkat pertumbuhan, karena kambing
dapat memanfaatkan
komposisi nutrisinya secara efisien. Selain
itu, ternak kambing dapat mencerna nutrisi lebih baik daripada kerbau
dan sapi,
kecuali untuk kandungan lemak padatnya. Perlu
dijelaskan pula bahwa pemberian bahan kering dari rumput alam yang
digunakan
dalam semua perlakuan penambahan hijauan
lamtoro semakin berkurang. dan hijauan lamtoro dipakai sebagai
penggantinya.
Ternyata dari percobaan dengan kambing
pertumbuhan tersebut terlihat bahwa konsumsi bahan kering dan
pertambahan bobot
badannya per ekor per hari semakin meningkat
dengan meningkatnya proporsi hijauan lamtoro dalam ransum.
PENERAPAN DI LAPANGAN
Hasil-hasil pengujian secara laboratoris
terbut di atas sangat bermanfaat bagi pengusaha ternak sapi di dalam
menentukan
komposisi pakanternaknya. Sebagai contoh,
percobaan pemberian hijauan dalam ransum sapi Peranakan Ongole (PO)
tersebut, di
perlakuan secara laboratorium memerlukan
waktu sekitar 6 (enam) bulan pengamatan. Sedangkan penerapan di lapangan
dengan menggunakan
sapi jenis yang sama dan pemberian pakan yang
sama tetapi berbeda proporsinya sedikit hanya memerlukan waktu
pengamatan 13
minggu. Dalam waktu ini pengusaha sudah dapat
menghasilkan daging segar dari pertambahan bobot badannya.
Gambar 2. Sistem kereman sapi ongole pada lahan kritis
|
Gambar 3. Penanaman Lamtoro/petai cina bahan pakan ternak di lahan kritis
|
Adapun perlakuan dalam penerapan adalah sebagai berikut:
1. 60% hijauan lamtoro dicampur dengan 40% rumput gajah (Elephant grass)
2. 65% hijauan lamtoro + 25% jerami padi + 10% dedak
3. Perlakuan oleh rakyat di sekitar lahan kritis (daerah penanaman hijauan lamtoro) : 60 kg rumput + 30 kg rumput campuran
+ 3 kg dedak setiap hari
Pengamatannya dilakukan selama 13 minggu, melalui sistim kereman. Diperoleh rata - rata pertambahan bobot badannya masing-masing
yaitu :
1. 0,53 kg per ekor per hari
2. 0,65 kg per ekor per hari
3. 0,35 kg per ekor per hari
Pada dasarnya pada uji terapan di
lapangan melalui pemberian: 65% hijauan lamtoro lokal + 25% jerami + 10%
dedak memiliki
hasil perolehan sangat tinggi, dibandingkan
dengan perlakuan di rakyat. Sedangkan uji terapan antara hijauan lamtoro
ditambah
rumput gajah dan perlakuan hijuan lamtoro
ditambah jerami padi dan dedak tidak jauh berbeda. Percobaan menggunakan
8 (delapan
) kali ulangan untuk setiap perlakuan.
Dari uji laboratorium dan terapan untuk
jenis ternak sapi Peranakan Ongole (PO), diperoleh pertambahan bobot
badan rata-ratanya
sekitar: 0,5 kg per ekor per hari.
Pertambahan berat tersebut didapat tanpa memberikan efek samping yang
merugikan walaupun
pemberian rumput disesauaikan dengan
lokasinya. Pada percobaan di laboratorium karena terletak di daerah yang
subur, maka
menggunakan rumput lapangan segar. Sedangkan
penerapannya dilakukan di daerah lahan kritis dan menggunakan rumput
gajah. Hal
ini disesuaikan dengan keadaan lingkungan
akan ketersediaan bahan baku makanannya.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar