Senin, 24 Juni 2013

pengadaaan pakan pada ternak

UJI LABORATORIUM DAN UJI LAPANGAN DALAM RANGKA

PENGADAAN PAKAN TERNAK


Mengupayakan suatu usaha peternakan perlu ditunjang oleh tiga faktor utama yaitu : pemuliabiakan ternak (Breeding), sistim pemberian makanan (Feeding) dan sistim tata-laksana (Management). Pertumbuhan badan hewan ternak akan sangat tergantung pada pakan dan proses pemberian makanannya. Contohnya adalah bahan baku apa saja yang digunakan serta kesesuaian dengan proporsi kebutuhan nutrisi ternaknya sendiri.

BPPT sejak awal telah mengadakan sejumlah percobaan laboratorium sebelum diterapkan di lapangan, yaitu diantaranya percobaan dalam pemanfaatan berbagai hijauan lamtoro/petai cina yang diketahui memiliki kandungan protein tumbuhan dan berakar dalam. Masalahnya, lamtoro memiliki kandungan zat racun yaitu perontok bulu (mimosine) Oleh karena itu, pemberiannya kepada ternak harus diusahakan sesuai dengan proporsi kebutuhan, serta diberikan sebagai campuran bahan makanan ternak.

Persiapan di lapangan dilakukan dengan menanam sejumlah varietas hijauan lamtoro/ petai cina di daerah lahan kritis di Daerah Istimewa Yogyakarta.

PENELITIAN KOMPOSISI PAKAN TERNAK

BPPT telah melakukan sejumlah kegiatan dalam perbaikan mutu pakan ternak. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produktivitas ternak yang diusahakan para petani. Sebagai contoh, dalam rangka perbaikan pertumbuhan ternak penghasil daging segar, BPPT telah melakukan kerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak di Ciawi - Bogor. Dengan maksud agar peterapan nantinya dapat sesuai dengan minat masyarakat setempat yang memerlukan.

Penelitian laboratorium dilakukan dengan menggunakan ternak sapi Peranakan Ongole (PO). Sebagai bahan makanannya diperkenalkan pemanfaatan hijauan lamtoro/ petai cina sebagai bahan makanan tambahan berkadar protein tumbuhan. Bahan pakan ini dikombinasikan dengan rumput lapangan sebagai bahan makanan pokoknya. Hijauan lamtoro digunakan sebagai makanan tambahan, mengingat adanya kandungan zat racun yang dapat merontokkan bulu. Makanan tambahan tersebut diupayakan pemberiannya dalam bentuk kering matahari.

Dalam penelitian ini, perlakuan pemberian kadar hijauan lamtoro/petai cina adalah sebesar: 0%; 20%; 40%; 60% dan 100%. Perlakuan di laboratorium pada ternak sapi Peranakan Ongole (PO) diamati selama enam bulan, dengan masing-masing 6 ulangan tiap perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan, dengan pemberian kadar hijauan lamtoro/ petai cina yang melalui perlakuan kering matahari yang dikombinasikan dengan rumput lapangan segar tersebut disimpulkan tidak ada efek samping, serta berat badan diperoleh sebesar masing-masing 0,015; 0,292; 0,544; 0,587 dan 0,306 kg/ek/hr.

Sebagai pembanding, pemberian makanan kombinasi ini telah pula diberikan pada ternak kelinci dan ternak kambing pertumbuhan. Pada saat perlakuan pada ternak kelinci, digunakan hijauan lamtoro/petai cina jenis lokal yang sama seperti pada percobaan ternak

gb1lamtoro.gif

Gambar 1. Proporsi pemberian pakandalam uji coba pemanfaatan hijauan lamtoro

sapi Peranakan Ongole (PO), tetapi diberikan dalam bentuk segar yang diberikan dengan campuran kangkung. Tahapan perlakuannya adalah: 100% kangkung; 20% hijauan lamtoro +80% kangkung; 40% hijauan lamtoro + 60% kangkung dan 60% hijauan lamtoro + 40% kangkung. Sebagai tahap perlakuan awalnya, makanan diberikan selama 2 (minggu) dan periode pengamatannya dilakukan selama 12 minggu.

Hasilnya ternyata memperlihatkan perbedaan yang sangat signifikan pada pertambahan berat badannya untuk setiap perlakuan. Di sini terlihat bahwa konsumsi bahan kering untuk perlakuan 20% dan 40% hijauan lamtoro lebih tinggi daripada perlakuan 60% hijauan lamtoro dan tanpa hijauan lamtoro. Pada perlakuan ini, berdasarkan bobot badan yang diperoleh, disarankan pemakaian tingkat hijauan lamtoro 40% bentuk segar dapat dicampur dengan 40 % kangkung dalam pertumbuhan kelinci. Hasil analisa kandungan proteinnya adalah sekitar 26,9%. Pengamatan telah dilakukan terhadap 24 ekor ternak kelinci di Fakultas Peternakan IPB.

Perlakuan juga dicoba terhadap 20 ekor kambing lokal tingkat pertumbuhan, menggunakan hijauan lamtoro jenis giant (bukan lokal), yang dilakukan selama 3 (tiga) bulan. Pemberian ransumnya berbeda dengan yang dilakukan pada pemberian rumput lapangan, sedang perlakuannya adalah : 0%; 20%; 40% dan 60% hijauan lamtoro. Perlakuan pada 40% hijauan lamtoro dengan campuran rumput alam ternyata memiliki hasil tertinggi, seperti terlihat dari pertambahan bobot badannya berikut ini: - 266 gram; 10 gram; 30 gram dan 29 gram per ekor per hari. Hasil ini memperlihatkan bahwa antara 40 dan 80 % hijauan lamtoro dalam ransum sangat berbeda nyata dengan perlakuan 0 dan 80 % hijauan lamtoro dalam ransum. yang dilaksanakan di laboratorium Univ. Gajah Mada - Yogyakarta. Hal ini disebabkan karena di Yogyakarta digunakan hijauan lamtoro hasil perolehan penanaman di lahan kritis di Kabupaten. Sleman; DIY.

Kambing yang digunakan adalah jenis ternak kambing lokal yang dalam tingkat pertumbuhan, karena kambing dapat memanfaatkan komposisi nutrisinya secara efisien. Selain itu, ternak kambing dapat mencerna nutrisi lebih baik daripada kerbau dan sapi, kecuali untuk kandungan lemak padatnya. Perlu dijelaskan pula bahwa pemberian bahan kering dari rumput alam yang digunakan dalam semua perlakuan penambahan hijauan lamtoro semakin berkurang. dan hijauan lamtoro dipakai sebagai penggantinya.

Ternyata dari percobaan dengan kambing pertumbuhan tersebut terlihat bahwa konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badannya per ekor per hari semakin meningkat dengan meningkatnya proporsi hijauan lamtoro dalam ransum.

PENERAPAN DI LAPANGAN

Hasil-hasil pengujian secara laboratoris terbut di atas sangat bermanfaat bagi pengusaha ternak sapi di dalam menentukan komposisi pakanternaknya. Sebagai contoh, percobaan pemberian hijauan dalam ransum sapi Peranakan Ongole (PO) tersebut, di perlakuan secara laboratorium memerlukan waktu sekitar 6 (enam) bulan pengamatan. Sedangkan penerapan di lapangan dengan menggunakan sapi jenis yang sama dan pemberian pakan yang sama tetapi berbeda proporsinya sedikit hanya memerlukan waktu pengamatan 13 minggu. Dalam waktu ini pengusaha sudah dapat menghasilkan daging segar dari pertambahan bobot badannya.

gb2sapi.gif

Gambar 2. Sistem kereman sapi ongole pada lahan kritis

gb3lamtoro.gif

Gambar 3. Penanaman Lamtoro/petai cina bahan pakan ternak di lahan kritis

Adapun perlakuan dalam penerapan adalah sebagai berikut:

1. 60% hijauan lamtoro dicampur dengan 40% rumput gajah (Elephant grass)
2. 65% hijauan lamtoro + 25% jerami padi + 10% dedak
3. Perlakuan oleh rakyat di sekitar lahan kritis (daerah penanaman hijauan lamtoro) : 60 kg rumput + 30 kg rumput campuran + 3 kg dedak setiap hari

Pengamatannya dilakukan selama 13 minggu, melalui sistim kereman. Diperoleh rata - rata pertambahan bobot badannya masing-masing yaitu :

1. 0,53 kg per ekor per hari
2. 0,65 kg per ekor per hari
3. 0,35 kg per ekor per hari

Pada dasarnya pada uji terapan di lapangan melalui pemberian: 65% hijauan lamtoro lokal + 25% jerami + 10% dedak memiliki hasil perolehan sangat tinggi, dibandingkan dengan perlakuan di rakyat. Sedangkan uji terapan antara hijauan lamtoro ditambah rumput gajah dan perlakuan hijuan lamtoro ditambah jerami padi dan dedak tidak jauh berbeda. Percobaan menggunakan 8 (delapan ) kali ulangan untuk setiap perlakuan.

Dari uji laboratorium dan terapan untuk jenis ternak sapi Peranakan Ongole (PO), diperoleh pertambahan bobot badan rata-ratanya sekitar: 0,5 kg per ekor per hari. Pertambahan berat tersebut didapat tanpa memberikan efek samping yang merugikan walaupun pemberian rumput disesauaikan dengan lokasinya. Pada percobaan di laboratorium karena terletak di daerah yang subur, maka menggunakan rumput lapangan segar. Sedangkan penerapannya dilakukan di daerah lahan kritis dan menggunakan rumput gajah. Hal ini disesuaikan dengan keadaan lingkungan akan ketersediaan bahan baku makanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar